Saturday 20 February 2016

ketika cinta bertasbih-insaf


KETIKA CINTA BERTASBIH 16: INSYAF


Orang-orang baru saja pulang dari jamaah shalat Maghrib

ketika Furqan menyalakan mobilnya dan membawanya

meluncur dari Haidar Tony ke arah Hay Sabe'. Tujuannya
adalah rumah Ustadz Saiful Mujab yang ter-letak di dekat
Masjid Ridhwan. Ia merasa tidak bisa mengambil keputusan
sendiri atas masalah yang menimpanya. Ia perlu pendapat
Ustadz Mujab yang selama ini ia anggap seperti kakaknya
sendiri. Sampai di rumah Ustadz Mujab ia disambut hangat
oleh Abdullah, anak sulung Ustadz Mujab yang berumur
tujuh tahun.

"Om Furqan, kok lama nggak main ke mana aja?" tanya

Abdullah.

"Om Furqan sedang sibuk persiapan ujian," jawab Furqan

datar.

"Om, om, tadi di sekolah aku dapat hadiah." Begitulah,

tanpa diminta Abdullah pasti cerita tentang kejadian di sekolahnya.
Anak itu sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Azhar
bersama anak-anak Mesir. Kemampuan bahasa Arabnya tidak
diragukan. Bahkan dalam hal-hal tertentu ia lebih mengerti
bahasa harian Mesir daripada kedua orangtuanya. Karena memang
ia sama dengan anak Mesir. Lahir dan besar di Mesir.

Bermain bersama anak-anak Mesir. Juga tidak jarang, berkelahi

dengan anak-anak Mesir.

"Hadiah apa?"


"Hadiah karena aku telah hafal juz tiga puluh. Semua

yang hafal juz tiga puluh mendapatkan hadiah."

"Apa hadiahnya?"


"Buku dan kaset nasyid anak-anak."


Percakapan keduanya terputus begitu Ustadz Mujab keluar.

Abdullah langsung masuk ke dalam. Sedangkan Furqan
langsung menjabat tangan Ustadz Mujab. Tanpa basa-basi
Ustadz Mujab berkata,

"Begini Fur, sampai sekarang si Anna belum bisa memberi

jawaban. Kau bersabarlah satu dua bulan lagi. Dia sedang
sibuk untuk melakukan penelitian untuk tesis-nya."

"Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan masalah

itu Ustadz."

"Lalu untuk apa?"


"Saya sedang menghadapi masalah besar yang saya merasa

tidak bisa menuntaskannya sendirian."

"Apa masalahmu?"


Furqan lantas menceritakan semua yang dialaminya di

hotel. Sejak dia masuk hotel sampai dia keluar hotel. Terutama
tentang foto-foto yang membuatnya merasa tidak berharga
dan permintaan mengirim uang sebesar 200.000 USD. Ustadz
Mujab mendengarkan dengan sek-sama. Sesekali ia mengenyitkan
dahi. Saat Furqan mengakhiri ceritanya dengan wajah
bergurat kecemasan dan kesedihan, Ustadz Mujab mendesah
dan mengambil nafas panjang.

"Sekarang apa yang harus saya lakukan Ustadz?"


Ustadz Mujab kembali menarik nafas dan berkata,


"Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan

me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas
cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang
penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan
menginap di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi mem -
persiapkan sidang tesismu. Apa kamarmu masih kurang nyaman,
masih kurang luas?!"

"Iya Ustadz, saya telah menyadarinya."


"Menurutku kamu tidak perlu mengindahkan ancaman

orang yang tidak kau kenal itu."

"Tapi, jika foto-foto itu benar-benar dijadikan konsumsi

publik bagaimana Ustadz? Di mana saya menaruh muka
Ustadz?"

"Itu kan foto fitnah. Tidak benar. Yang penting kau kan

tidak melakukannya."

"Aduh mental saya belum kuat jika foto-foto itu diketahui

mahasiswa Indonesia di Cairo Ustadz. Apalagi jika dipublikasikan
juga ke Tanah Air, bisnis ayah saya bisa hancur
Ustadz. Saya hidup tidak sendirian Ustadz. Masalahnya tidak
sesederhana yang Ustadz bayangkan."

Ustadz Mujab termenung mendengar perkataan Furqan.


"Ya, saya lupa kalau ayahmu itu seorang pengusaha nasional.


Masalahnya memang tidak sederhana. Aduh Furqan,

saya belum bisa memberi saran untuk masalahmu ini. Maafkan
saya." Ucap Ustadz Mujab.

Furqan terdiam sesaat lamanya. Ia tidak tahu harus minta

pendapat siapa lagi. Apa ia harus ke tempat bapak bapak
KBRI?

"Tidak ada salahnya." Ucapnya dalam hati. Ia melihat jam

tangannya, masih agak sore. Ia harus segera meluncur ke
Dokki, maka ia langsung minta diri. Sebelum pergi Furqan
sempat berpesan, "Tolong jaga rahasia masalah ini. Doakan
saya menemukan jalan keluar secepatnya."

Furqan langsung meluncur cepat menuju Dokki. Di perjalanan

ia masih berpikir rumah siapa yang akan ia tuju. Sampai
di Ramsis ia baru bisa menentukan bahwa rumah orang
yang paling ia kenallah yang harus ia tuju. Yaitu rumah Pak
Rusydan, Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Semestinya memang
lebih tepat ke Atase Bidang Politik, atau Atase Bidang
Konsoler. Saat ini yang paling ia perlukan adalah saran terbaik,
juga dukungan moril. Dukungan moril lebih bisa diharapkan
dari orang orang yang benar-benar mengenalnya.

Sedikit beruntung, malam itu ia langsung bisa bertemu

dan berbicara dari hati ke hati dengan Pak Rusydan. Dengan
penuh kearifan seorang bapak yang mengayomi anaknya, Pak
Rusydan berkata pada Furqan,

"Tenang, ini masalah kecil Nak Furqan. Jangan terlalu

cemas. Ini bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan. Menurut
hematku, kita tetap harus minta tolong pada pihak
keamanan Mesir. Tidak bisa tidak."

"Tapi kalau penjahat itu tahu, maka saya bisa hancur

Pak."

"Tidak. Dia tidak akan tahu. Sebab kita tidak minta tolong

pada polisi biasa. Tapi kita langsung minta tolong pada
mahahits."

"Mabahits?"


"Ya. Kau kan pernah jadi Ketua PPMI, dulu pernah mengantongi

nama-nama orang penting di kalangan mahabits.

Telponlah orang itu malam ini juga. Besok pagi saya akan

menguatkan dengan menelponnya."

"Oh ya baik Pak."


Setelah itu mereka memperbincangkan tema yang lain.

"Setelah selesai S.2 ini apa rencanamu Nak?"

"Kalau bisa langsung aplikasi program doktor Pak."


"Bagus. Memang kalau bisa agar Indonesia maju setiap

KK melahirkan satu doktor. Saat ini ada seorang pakar yang
berpendapat bahwa kemajuan suatu negara bisa dilihat dari
jumlah doktor per satu juta orang penduduknya. Semakin
banyak jumlah doktornya, maka akan semakin maju. Tapi
doktor yang benar-benar doktor lho, bukan doktor hasil mem -
beli. Sebab sekarang ini banyak gelar doktor diobral dengan
harga sekian juta rupiah. Dan sudah banyak kasus terungkap,
orang-orang Indonesia termasuk paljng gemar membeli gelar.
Dan juga membeli ijazah."

"Kondisi bangsa kita memang memprihatinkan Pak."


"Karena itulah dibutuhkan generasi-generasi tangguh

yang berprestasi seperti kamu."

"Doanya Pak."


Setelah merasa cukup Furqan pamit minta diri. Di sepanjang

perjalanan dari Dokki sampai Haidar Toni Furqan
tiada henti berzikir dan beristighfar. Ia masih terus diteror
rasa cemas. Saat itulah ia benar-benar merasa membutuhkan
kasih sayang Allah. Ia membenarkan nasihat Ustadz Mujab,

"Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan memuhasabah-

i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas cara
hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang
penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan menginap
di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi."

Mungkin benar penilaian Ustadz Mujab atas dirinya. Ia

telah melakukan sesuatu yang berlebihan. Sesuatu yang sejatinya
kurang pantas bagi seorang penuntut ilmu. Ia langsung
menyadari kekhilafannya itu. Ia yang mengambil spesialisasi
sejarah dan peradaban Islam semestinya menyadari bahwa
para pemikir dan ulama besar tidak ada yang berhasil meraih
ilmu dengan hidup ber-mewah-mewah.

Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa dalam kitab-kitab

sastra, sejarah, manakib dan thabaqat banyak dijelaskan betapa
para ulama lebih biasa bergelut dengan kemiskinan, penderitaan
dan kesulitan hidup yang mencekik. Namun mereka
meresapinya dengan penuh kesa-baran. Dalam penderitaan
yang mencekik itulah mereka mengais ilmu dan hikmah.
Dalam kesulitan hidup itulah mereka menulis karya-karya
besar yang monumental. Bagaimana mungkin, ia yang jebolan
jurusan sejarah dan peradaban Islam Al Azhar University , dan
sebentar lagi meraih gelar master di jurusan yang sama dari
Cairo University bisa melupakan sunah para ulama itu.

Bagaimana mungkin ia bisa lupa kisah mengharukan

yang diriwayatkan oleh Imam Bakar bin Hamdan Al Maruzi
yang mengatakan, bahwa Imam Ibnu Kharrasy pernah bercerita,

"Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku

sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan
melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadis aku merasa
kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku minum. Maka
dengan terpaksa aku rninum air kencingku sendiri."

Ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum

air kencingnya sendiri demi mempertahankan hidupnya
ketika mencari ilmu. Sedangkan dirinya, bisa-bisanya makan
dan minum di restoran mewah Hotel Meridien.

Bagaimana mungkin ia lupa cerita Imam Abu Hatim yang

pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan. Imam
Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadis kondisiku
benar-benar sangat mempriha-tinkan. Karena tidak mampu
membeli sumbu lampu, pada suatu malam aku terpaksa keluar
ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar
dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh
tukang ronda. Dan terkadang tukang ronda itu tidur, aku
yang menggantikannya ronda."

Sementara dirinya masih juga tidak merasa cukup akan

nyamannya lampu apartemannya. Harus lampu mewah Hotel
Meridien.

Bagaimana mungkin ia lupa kisah Imam Bukhari yang tidak

memiliki apa-apa. Sampai pakaian pun tidak punya,
sehingga ia terhalang dari menulis hadis. Bagaimana mungkin
ia melala ikan kisah menggetarkan yang beberapa kali ia baca
dan ia kaji itu? Bagaimana mungkin ia lupa pada kisah yang
diriwayatkan oleh ulama besar seangkatan dengan Imam
Bukhari yang bernama Umar bin Hafesh Al Asyqar. Al Asyqar
mengatakan,

"Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari

menulis hadis di Bashrah. Setelah dicari ke mana mana
akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam
keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar
musyawarah kami berhasil mengumpulkan uang beberapa
dirham lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya
ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan
hadis."

Sementara dirinya selama ini memilih pakaian yang bermerk

dan mahal-mahal.

Bagaimana mungkin ia lupa akan penderitaan Imam

Malik. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau
sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya.
Bagaimana mungkin ia lupa?

Bukankah itu semua adalah sejarah yang benar-benar

nyata. Bukan cerita fiktif yang mengada-ada. Datanya valid,
tertulis dalam banyak kitab-kitab sejarah, sastra dan lain sebagainya.
Bagaimana ia bisa melalaikan suatu kenyataan penting,
bahwa para ulama salaf menganggap kemiskinan adalah teman
akrab yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Justru
kemiskinan itu, saat menuntut ilmu, harus benar-benar dinikmati.
Sampai sampai ada seorang ulama menulis syair:

Aku bertanya kepada kemiskinan.

Di manakah kamu berada?
Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama.
Mereka adalah saudaraku.
Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja.
Bagaimana mungkin ia bisa melalaikan itu semua?
Hati Furqan gerimis. Airmatanya meleleh. Ia benar benar
menginsyafi cara hidupnya yang selama ini sudah tidak
wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Ia benar benar merasakan bahwa ini semua adalah teguran dari Dzat Yang Maha
Bijaksana.

No comments:

Post a Comment