KETIKA CINTA BERTASBIH 17: PERTEMUAN YANG MENGGETARKAN
Hari berikutnya Fadhil boleh dibawa pulang. Untuk
membayar biaya rumah sakit, Azzam harus merelakan uang
hasil kerja kerasnya berjualan bakso. Begitu Fadhil sampai di
Mutsallats, Azzam langsung pergi ke Abbasea. Tujuannya
satu, yaitu ke kantor mabahits mencari Letnan Kolonel Hosam
Qatimi. Ia mau minta pertanggung jawaban. Sesampainya di
sana semua pertugas keamanan di sana tak ada yang merasa
mengenal nama Hosam Qatimi. Dan ia memang sama sekali
tidak melihat Hosam Qatimi dan anak buahnya di sana.
"Maaf, tidak ada nama Hosam Qatimi di sini. Kamu salah
alamat, Orang Indonesia!" Ucap seorang petugas berpakaian
seragam persis dengan seragam Hosam Qatimi.
Azzam meninggalkan kantor itu dengan perasaan marah
dan kesal. Marah, karena ia merasa dipermainkan oleh Letnan
Kolonel itu. Dan kesal, karena meskipun ia dipermainkan, ia
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah, menerima yang
sudah terjadi. Ya sudahlah. Ia tidak punya kekuatan untuk
mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu bertanggung
jawab. Ia hanya mengatakan dalam hati bahwa
kezaliman sekecil apapun akan ada hisabnya kelak. Biarlah
pengadilan Allah kelak yang memutuskan.
Ia melangkah pergi. Di luar gerbang ia berpapasan dengan
sedan Fiat putih yang dikendarai oleh Furqan. Ia tidak
tahu yang mengendarai mobil itu Furqan. Sebab ia memang
tidak memperhatikan. Furqan pun tidak tahu kalau yang baru
saja disimpanginya itu adalah Azzam teman satu pesawat saat
berangkat ke Mesir sembilan tahun yang lalu.
Azzam melangkahkan kakinya menuju Mahattah Abasea.
Ia mau mencari bus ke Sayyeda Zaenab. Kembali belanja
daging sapi. Ia harus membuatkan bakso untuk Bu Faizah
yang punya hajatan syukuran. Syukuran menempati rumah
baru. Sudah satu bulan yang lalu Bu Faizah pesan padanya. Ia
harus menepatinya. Meskipun sebenarnya ia ingin istirahat.
Sementara ia melaju di atas bus menuju Sayyeda Zaenab,
Furqan telah berada di salah satu ruang kantor yang baru saja
didatangi Azzam. Furqan berbincang bincang dengan seorang
lelaki gagah berkulit putih bersih. Lelaki setengah baya itu
memakai kemeja biasa. Tangannya biasa, tidak terlihat begitu
kekar. Ia lebih mirip direktur sebuah perusahaan daripada
anggota Mabahits Amn Daulah.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya lelaki itu.
Furqan lalu menjelaskan dengan detil segala hal yang
diala -minya di hotel. Lelaki itu mendengarkan dengan sek -
sama sambil memandangi wajah Furqan lekat-lekat. Begitu
Furqan selesai bercerita, lelaki itu bertanya,
"Jadi penjahat itu menamakan dirinya Miss Italiana?"
"Ya," jawab Furqan.
"Baiklah, seperti janjiku dulu. Aku akan membantumu
agar kau nyaman belajar di Mesir ini. Tapi terus terang, ini
kasus yang cukup rumit. Perlu kerja keras. Terus terang, aku
juga akan minta bantuan beberapa anak buahku. Dan terus
terang, mereka perlu uang lelah."
Furqan langsung paham apa yang dimaksudkan lelaki
yang menduduki jabatan menentukan dan sangat disegani
kawan-kawan dan anak buahnya itu.
"Baiklah, kolonel, saya akan kasih seribu pound jika
berhasil menangani kasus ini."
"Itu untuk anak buahku. Lha yang untuk aku?"
"Itu sudah termasuk untuk kolonel."
"Wah kayaknya tidak bisa. Aku tak sanggup, kalau cuma
segitu. Jika kami berhasil mengatasi ingatlah nominal 200.000
USD yang seharusnya kau keluarkan."
Furqan diam sesaat. Ia menghitung segala yang ia miliki.
Ia tidak ingin minta uang ke Tanah Air. Uang di rekeningnya
masih seribu dollar, dan itu ia cadangkan untuk beli tiket pulang
setelah sidang tesis magisternya. Kalau seribu dollar ia
lepas berarti untuk pulang ia harus minta kiriman. Tiba-tiba ia
teringat mobilnya. Mobil Fiat putihnya yang kondisinya masih
sangat bagus.
"Baiklah kolonel, bagaimana kalau mobil Fiat saya?"
"Kau mau memberiku hadiah mobil?"
"Ya, jika kolonel berhasil. Mobil Fiat saya di depan itu
akan menjadi milik kolonel."
"Boleh saya lihat mobilnya, saya tidak mau mobil
rongsokan."
"Mari kita lihat kolonel."
Keduanya lalu keluar melihat mobil Fiat putih. Sang
kolonel melihat dengan teliti. Bahkan mencoba menyalakan
mesin segala. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mengajak
Furqan kembali masuk ke ruangannya.
"Baik, saya setuju. Saya akan bekerja keras menuntaskan
kasus ini. Kau tenang-tenang sajalah belajar."
"Kapan laporannya bisa saya terima."
"Paling lama satu minggu."
"Baiklah. Saya percaya pada kolonel. Saya pulang dulu.
Mobil saya bawa dulu. Minggu depan mobil itu akan jadi milik
Kolonel Fuad, jika saya telah melihat penjahat itu tertangkap
dan meringkuk dalam penjara."
"Insya Allah."
***
"Bagaimana keadaan kakakmu Dik?" Tanya Tiara pada
Cut Mala. Saat itu hanya mereka berdua yang ada di dalam
rumah. Yang lain sedang kuliah. Mereka berdua duduk di sofa
sambil makan kwaci. Di Mesir makan kwaci adalah salah satu
budaya yang sangat merakyat.
"Sudah baik. Sudah dibawa pulang. Dia masih perlu
istirahat beberapa hari," jawab Cut Mala.
"Jadi tentang yang aku sampaikan di Hadiqah itu belum
kamu sampaikan kepadanya?"
"Sudah saya sampaikan lewat telpon. Sebelum Kak Fadhil
sakit. Kak Fadhil minta agar aku menjelaskannya panjang
lebar secara langsung, tidak lewat telpon. Kami sudah janjian
mau bertemu di Masjid Nuri Khithab. Namun manusia hanya
bisa berencana sedangkan yang menentukan adalah Tuhan.
Belum sempat bertemu Kak Fadhil sudah sakit duluan. Jadinya
saya belum menjelaskan dengan detil. Dan otomatis Kak
Fadhil belum memberikan saran atau masukan."
"Kau tahu kira-kira kenapa kakakmu minta penjelasan
panjang lebar?" Tiara penasaran. Ada secercah cahaya harapan
di hatinya. Ia berharap bahwa Fadhil memang menaruh
perhatian padanya, bahkan menaruh hati padanya.
"Saya tidak tahu persis, Kak. Tapi memang kakak saya
sering begitu. Seringkali jika saya minta saran, minta ketemu
langsung untuk menjelaskan dengan detil panjang lebar."
"Kalau kau menemuinya hari ini dan menjelaskan panjang
lebar tentang yang aku hadapi bisa tidak Dik? Nanti malam
ayahku mau menelpon lagi. Kemarin beliau menelpon dan aku
janjikan nanti malam. Sampai sekarang aku belum punya
pegangan untuk mengambil sikap. Tolonglah Dik."
"Tapi kakak masih belum sehat benar Kak. Apa tidak bisa
menunggu dua atau tiga hari lagi?"
Tiara menghela nafas. Ia memejamkan kedua mata.
Haruskah ia menjelaskan lebih dalam tentang perasaannya
yang selama ini ia simpan di dalam dada kepada Cut Mala?
Tak terasa matanya basah. Airmatanya tanpa bisa ia bendung
keluar perlahan membasahi pipi. Cut Mala menangkap dengan
jelas yang terjadi pada kakak kelasnya itu.
"Kak Tiara menangis? Maafkan saya Kak, jika katakata
saya tidak berkenan." Lirih Cut Mala.
"Tidak apa-apa Dik. Kakak hanya merasa berat meresapi
masalah ini. Kakak ingin segera jelas. Kakak ingin segera konsentrasi
ujian. Hari-hari ini kakak sulit tidur. Tapi kau memang
benar. Dua hari lagi tidak lama. Atau kakak akan ambil
keputusan tanpa perlu saran dan penjelasan dari kakakmu.
Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa kakak menangis."
Jawab Tiara sambil tetap memejamkan mata.
Cut Mala diam . Dari kalimat yang disamp aikan Tiara, ia
bisa menangkap bahwa kakak kelasnya itu memendam sesuatu.
Ia hanya bisa meraba bahwa Tiara susah untuk mengambil
keputusan karena kelihatannya Tiara mengharapkan kakaknya,
Fadhil. Namun Cut Mala tidak mau terlalu jauh menduga
dan berprasangka. Bukankah sebagian pra-sangka adalah
dosa? Untuk menenangkan hati Tiara, ia berkata,
"Sore nanti saya akan menjenguk Kak Fadhil di rumahnya.
Saya akan melihat keadaannya, jika mau mungkinkan
saya akan jelaskan semuanya padanya."
Mendengar kalimat itu Tiara langsung membuka mata.
Ada binar bahagia di wajahnya.
"Benarkah Dik? Tolong ya Dik, jelaskan pada kakakmu,
usahakan!" tukas Tiara penuh harap.
"Insya Allah Kak. Sekali lagi jika keadaan memungkinkan."
"Semoga memungkinkan."
Melihat reaksi Tiara, Cut Mala memiliki sedikit petunjuk
bahwa kakak kelasnya itu menaruh hati pada kakak kandungnya.
Ia akan berusaha menjelaskan masalah kakak kelasnya itu
pada kakak kandungnya. Namun ia tidak akan menceritakan
segala petunjuk yang ia dapat bahwa Tiara diam-diam
menaruh hati pada kakaknya. Ia ingin semuanya berjalan
alamiah. Ia akan menceritakan apa adanya persis seperti yang
diceritakan Tiara padanya di Hadiqah Dauliyah.
***
Dari Pasar Sayyeda Zaenab Azzam naik bus 65. Ia memilih
duduk di bangku paling belakang. Karena barang bawaannya
agak banyak. Begitu bus merangkak berjalan, Azzam
mulai memejamkan mata. Rasa kantuknya tak bisa ia tahan.
Sepanjang perjalanan ia tidur. Pulas. Bahkan ketika bus yang
ditumpanginya telah memasuki kawasan Nasr City ia tak juga
bangun.
Bis 65 itu melintas di depan Masjid Ar Rahmah. Di sebuah
halte tak jauh dari situ bus berhenti menurunkan dan menaikkan
penumpang. Seorang penumpang turun, dan seorang
gadis berjilbab putih naik. Gadis itu membayar ongkos. Lima
puluh piaster. Gadis itu mencaricari tempat duduk. Semua
telah terisi. Kecuali satu kursi di bagian belakang. Tepat di
samping Azzam yang sedang pulas tidur. Gadis itu ragu untuk
duduk. Sang kondektur mempersilakan untuk duduk. Akhirnya
gadis itu duduk.
Azzam yang sedang tidur sama sekali tidak sadar, ada
seorang gadis yang duduk di sampingnya. Ia sangat pulas.
Wajah lelahnya tergurat jelas. Gadis itu memperhatikan wajah
Azzam.
"Benar kata kakak, dia seorang pekerja keras. Wajahnya
ada-lah wajah lelah pekerja keras," kata gadis itu dalam hati.
Gadis itu tak lain adalah Cut Mala, yang hendak menjenguk
Fadhil kakaknya.
Sampai di ENPI, kondektur bus berteriak keras,
"Enpi! Enpi Enpi!"
Azzam terbangun. Ia mengucek-ucek kedua matanya.
Cepat-cepat ia melihat ke jendela. Ia ingin tahu sampai di
mana dirinya sebenarnya. Begitu melihat gedung Enpi ia lega.
Ia tidak kebablasan. Ia berusaha keras menahan kantuknya. Ia
tidak mau ketiduran dan kebablasan sampai akhir terminal. Ia
harus turun di halte Mutsallats. Ia menggerak-gerakkan kepalanya
yang pegal. Ia melihat ke depan dan ke sampingnya. Ia
baru sadar ada seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Ia
terperanjat.
"Mala ya?" lirihnya.
Gadis itu memandang ke arahnya dengan tersenyum.
Kedua tangannya menelungkup di dada. Isyarat mengulurkan
salam.
"Iya Kang Azzam. Dari belanja ya Kang?"
"Iya seperti biasa. Belanja kacang kedelai di Sayyeda Zaenab.
Mala mau ke mana? Ke Mutsallats ya?"
"Iya Kang. Mau nengok Kak Fadhil."
"Oh iya. Insya Allah kondisi Fadhil sudah baik kok.
Jangan cemas."
"Ya semoga segara pulih seperti sedia kala. Sebentar lagi
kan mau ujian. Saya kuatir kalau mengganggu ujiannya."
"Jangan kuatir. Kakakmu itu termasuk orang cerdas yang
bisa meresapi soal ujian dengan baik. Dia selalu naik tingkat
dengan predikat jayyid tiap tahun. Semoga sakitnya kali ini
menjadi penebus dosanya sehingga ia bisa lulus ujian akhir
dengan nilai terbaik."
"Amin."
Keduanya lalu diam. Azzam tidak menemukan tema
untuk dibicarakan. Demikian juga Cut Mala. Di samping itu
rasa segan menghalangi mereka berdua untuk terus berbicara.
Cut Mala sangat segan pada Azzam yang sangat dihormati
oleh kakaknya. Cut Mala juga tahu jika selama ini kakaknya
sering mendapat banyak bantuan dari orang yang duduk di
sam-pingnya. Azzam segan pada Cut Mala, karena prestasi
dan pesonanya. Ia sudah sering mendengar prestasi-prestasinya.
Tahun pertama di Al Azhar gadis itu langsung lulus naik
tingkat dua dengan predikat jayyid jiddan. Dan mendapat
penghargaan dari Bapak Atase Pendidikan. Suaranya yang
halus sedikit menggetarkan syaraf-syarafnya.
Ia jadi teringat Hafez. Ia bisa membayangkan jika Hafez
yang duduk di tempatnya saat itu, seperti apa rasa gembiranya.
Segera ia mencegah hatinya untuk merasakan simpati
berlebihan pada gadis Aceh itu. Ia teringat tiga adik perem -
puannya di Indonesia. Husna, Lia dan Sarah. Ia harus menghormati
Cut Mala. Ia ingin orang lain menghormati tiga adiknya.
Bus terus melaju. Sampai di Mutsallats. Bus berhenti. Cut
Mala turun. Azzam menurunkan barang-barangnya. Cut Mala
menunggu Azzam. Azzam meminta kepada Cut Mala agar
duluan. Cut Mala langsung melangkah meninggalkan Azzam.
Azzam istirahat sesaat. Ia melihat ke arah penjual buah. Ia
ingin beli jeruk Abu Surrah. Ia memanggul kacang kedelainya.
Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi bumbu. Ia
berhenti di tukang buah dan membeli jeruk satu kilo. Lalu ia
berjalan pelan-pelan ke arah rumahnya. Cut Mala sudah tidak
kelihatan. Mungkin ia telah masuk flat-dan bertemu dengan
kakaknya.
Di pintu gerbang, Nanang telah menunggunya.
"Kedelainya biar saya angkat Kang." Nanang menawarkan
diri. Azzam yang sangat lelah menurunkan karungnya
yang berisi kedelai. Nanang langsung memanggulnya. Mereka
berdua menaiki tangga.
"Ada siapa saja di rumah Nang?" tanya Azzam.
"Semua ada Kang," jawab Nanang sambil tetap menaiki
tangga satu per satu.
"Hafez juga ada?"
"Ya ada. Dia pulang jam satu siang tadi. Dia sempat
marah-marah karena tidak diberitahu kalau Fadhi masuk rumah
sakit."
"Si Mala, adiknya Fadhil sudah masuk?"
"Sudah Kang. Dia yang tadi memberitahu kalau Sampeyan
sedang berjalan. Katanya tadi satu bus Kang."
"Iya."
Azzam membayangkan bahwa telah terjadi pertemuan
antara Hafez dan Cut Mala. Ia bisa membayangkan seperti apa
kira-kira perasaan Hafez. Ia pasti sedang panas dingin. Hanya
ia yang tahu. Tentang Cut Mala, ia yakin gadis itu biasa-biasa
saja. Sebab kepentingan gadis itu sangat jelas, yaitu menjenguk
kakaknya.
Saat Azzam masuk flat, yang ada di ruang tamu hanya
Fadhil dan Cut Mala. Keduanya sedang berbincang-bincang.
Ia mendengar suara minuman diaduk. Ia masuk dapur. Hafez
sedang membuat teh.
"Jangan sampai kurang manis. Dan jangan sampai terlalu
manis lho Fez," ujar Azzam sambil meletakkan barang yang
dibawanya. Nanang meletakkan karung di tempat biasanya,
pojok dapur.
"E e iya Kang," jawab Hafez gugup. Wajahnya memerah.
"Jangan lupa itu ada buah. Setelah mengantar minuman.
Antar juga buahnya ya. Setelah itu kembali ke kamar. Jangan
menganggu kenyamanan pembicaraan kakak beradik itu ya."
Kata Azzam santai sambil berlalu merunggalkan Hafez yang
bersiap dengan dua gelas di atas nampan. Azzam masuk ke
kamarnya. Nanang melakukan hal yang sama. Sementara Hafez
membawa nampan ke ruang tamu dengan tangan bergetar.
"Wah jadi merepotkan Kak Hafez," kata Cut Mala kala
melihat Hafez datang membawa minuman.
"Ah tidak kok, sudah ada," jawab Hafez dengan nada
sebiasa mungkin. Ia tidak ingin tubuhnya yang gemetar dan
panas dingin diketahui oleh Fadhil maupun Cut Mala
"Mari silakan diminum," Hafez mempersilakan.
"Terima kasih Kak," sahut Cut Mala sambil menatap
wajah Hafez. Pada saat yang sama Hafez juga sedang memandang
ke arah Cut Mala. Cut Mala tersenyum lalu memandang
kakak-nya.
"Kak Fadhil, Kak Hafez kan orang Palembang ya. Berarti
dia bisa bikin empek-empek ya?"
Fadhil menjawab dengan tersenyum, "Ya iyalah. Dia
jagonya kalau bikin empek -empek. Kalau mau dia bisa bisnis
empek-empek di Cairo ini, tapi dia tidak mau. Katanya takut
ku-liahnya terganggu."
Hafez yang mendengar dirinya dipuji Fadhil di hadapan
Cut Mala merasa sangat berbahagia. Kedua kakinya seperti
tidak menginjak bumi. Ia seperti melayang. Ia segera menguasai
diri.
"Sebentar ya," kata nya sambil melangkah ke dapur. Ia
mengambil buah yang masih ada di dalam kantong plastik,
meletakkannya di atas piring dan membawa ke ruang tamu.
"Iya keluarkan semuanya Fez. Nanti kalau tidak habis
biar dibawa pulang Mala," ujar Fadhil santai.
"Iya nggak apa-apa. Siapkan sekalian kantong plastiknya
biar nanti saya bawa pulang," tukas Cut Mala santai.
Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala. Ia
seperti tersengat listrik. Ada perasaan sangat indah yang sangat
susah dilukiskan. Kakinya seperti mau lumpuh. Keringat
dinginnya keluar. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia membalikkan
badan.
"Mau ke mana Fez? Masih ada lagi?" celetuk Fadhil.
Hafez sudah menguasai keadaan, ia langsung membalikkan
badan dan menjawab dengan guyonan,
"Masih. Di dapur masih ada banyak buah. Mala mau
bawa?"
"Boleh. Masih ada apa aja?"
Spontan Hafez menjawab,
"Kubis, lombok, kentang, terong, wortel dan buncis.
Mau?"
"Ah Kak Hafez punya rasa humor juga ya. Kalau itu sih di
kulkas kami sudah penuh. Berlebih malah. Terima kasih deh,"
tukas Cut Mala santai.
Hafez tersenyum. Ia punya kesempatan memandang Cut
Mala lagi. Hatinya benar-benar bergetar. Tubuhnya panas
dingin.
"Sama-sama," jawabnya seraya melangkah, langsung menuju
kamar Azzam. Itu adalah pertemuan yang sangat mengesan
dan menggetarkan jiwanya.
BERSAMBUNG
*** Tag dan share ke keluarga, sahabat dan teman-temanmu yah
***
Sahabat, Musibah, bencana, dapat senantiasa menyambangi dimanapun kita berada. Termasuk, saat ini lewat berbagai media kita bisa menyaksikan bencana melanda berbagai tempat dimana saudara-saudara kita tinggal. Maka mari kita buktikan kepedulian kita dengan mengulurkan tangan untuk menolong para korban-korban bencana di sana. Karena sedikit bantuan kita, besar artinya buat mereka.
Salurkan donasi sahabat melalui BSM 703 310 1858 a.n Lembaga Forum Lingkar Pena. Konfirmasi ke Wiwiek (08128747415)
Demikian informasi yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan ribuan terima kasih.
Hari berikutnya Fadhil boleh dibawa pulang. Untuk
membayar biaya rumah sakit, Azzam harus merelakan uang
hasil kerja kerasnya berjualan bakso. Begitu Fadhil sampai di
Mutsallats, Azzam langsung pergi ke Abbasea. Tujuannya
satu, yaitu ke kantor mabahits mencari Letnan Kolonel Hosam
Qatimi. Ia mau minta pertanggung jawaban. Sesampainya di
sana semua pertugas keamanan di sana tak ada yang merasa
mengenal nama Hosam Qatimi. Dan ia memang sama sekali
tidak melihat Hosam Qatimi dan anak buahnya di sana.
"Maaf, tidak ada nama Hosam Qatimi di sini. Kamu salah
alamat, Orang Indonesia!" Ucap seorang petugas berpakaian
seragam persis dengan seragam Hosam Qatimi.
Azzam meninggalkan kantor itu dengan perasaan marah
dan kesal. Marah, karena ia merasa dipermainkan oleh Letnan
Kolonel itu. Dan kesal, karena meskipun ia dipermainkan, ia
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah, menerima yang
sudah terjadi. Ya sudahlah. Ia tidak punya kekuatan untuk
mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu bertanggung
jawab. Ia hanya mengatakan dalam hati bahwa
kezaliman sekecil apapun akan ada hisabnya kelak. Biarlah
pengadilan Allah kelak yang memutuskan.
Ia melangkah pergi. Di luar gerbang ia berpapasan dengan
sedan Fiat putih yang dikendarai oleh Furqan. Ia tidak
tahu yang mengendarai mobil itu Furqan. Sebab ia memang
tidak memperhatikan. Furqan pun tidak tahu kalau yang baru
saja disimpanginya itu adalah Azzam teman satu pesawat saat
berangkat ke Mesir sembilan tahun yang lalu.
Azzam melangkahkan kakinya menuju Mahattah Abasea.
Ia mau mencari bus ke Sayyeda Zaenab. Kembali belanja
daging sapi. Ia harus membuatkan bakso untuk Bu Faizah
yang punya hajatan syukuran. Syukuran menempati rumah
baru. Sudah satu bulan yang lalu Bu Faizah pesan padanya. Ia
harus menepatinya. Meskipun sebenarnya ia ingin istirahat.
Sementara ia melaju di atas bus menuju Sayyeda Zaenab,
Furqan telah berada di salah satu ruang kantor yang baru saja
didatangi Azzam. Furqan berbincang bincang dengan seorang
lelaki gagah berkulit putih bersih. Lelaki setengah baya itu
memakai kemeja biasa. Tangannya biasa, tidak terlihat begitu
kekar. Ia lebih mirip direktur sebuah perusahaan daripada
anggota Mabahits Amn Daulah.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya lelaki itu.
Furqan lalu menjelaskan dengan detil segala hal yang
diala -minya di hotel. Lelaki itu mendengarkan dengan sek -
sama sambil memandangi wajah Furqan lekat-lekat. Begitu
Furqan selesai bercerita, lelaki itu bertanya,
"Jadi penjahat itu menamakan dirinya Miss Italiana?"
"Ya," jawab Furqan.
"Baiklah, seperti janjiku dulu. Aku akan membantumu
agar kau nyaman belajar di Mesir ini. Tapi terus terang, ini
kasus yang cukup rumit. Perlu kerja keras. Terus terang, aku
juga akan minta bantuan beberapa anak buahku. Dan terus
terang, mereka perlu uang lelah."
Furqan langsung paham apa yang dimaksudkan lelaki
yang menduduki jabatan menentukan dan sangat disegani
kawan-kawan dan anak buahnya itu.
"Baiklah, kolonel, saya akan kasih seribu pound jika
berhasil menangani kasus ini."
"Itu untuk anak buahku. Lha yang untuk aku?"
"Itu sudah termasuk untuk kolonel."
"Wah kayaknya tidak bisa. Aku tak sanggup, kalau cuma
segitu. Jika kami berhasil mengatasi ingatlah nominal 200.000
USD yang seharusnya kau keluarkan."
Furqan diam sesaat. Ia menghitung segala yang ia miliki.
Ia tidak ingin minta uang ke Tanah Air. Uang di rekeningnya
masih seribu dollar, dan itu ia cadangkan untuk beli tiket pulang
setelah sidang tesis magisternya. Kalau seribu dollar ia
lepas berarti untuk pulang ia harus minta kiriman. Tiba-tiba ia
teringat mobilnya. Mobil Fiat putihnya yang kondisinya masih
sangat bagus.
"Baiklah kolonel, bagaimana kalau mobil Fiat saya?"
"Kau mau memberiku hadiah mobil?"
"Ya, jika kolonel berhasil. Mobil Fiat saya di depan itu
akan menjadi milik kolonel."
"Boleh saya lihat mobilnya, saya tidak mau mobil
rongsokan."
"Mari kita lihat kolonel."
Keduanya lalu keluar melihat mobil Fiat putih. Sang
kolonel melihat dengan teliti. Bahkan mencoba menyalakan
mesin segala. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mengajak
Furqan kembali masuk ke ruangannya.
"Baik, saya setuju. Saya akan bekerja keras menuntaskan
kasus ini. Kau tenang-tenang sajalah belajar."
"Kapan laporannya bisa saya terima."
"Paling lama satu minggu."
"Baiklah. Saya percaya pada kolonel. Saya pulang dulu.
Mobil saya bawa dulu. Minggu depan mobil itu akan jadi milik
Kolonel Fuad, jika saya telah melihat penjahat itu tertangkap
dan meringkuk dalam penjara."
"Insya Allah."
***
"Bagaimana keadaan kakakmu Dik?" Tanya Tiara pada
Cut Mala. Saat itu hanya mereka berdua yang ada di dalam
rumah. Yang lain sedang kuliah. Mereka berdua duduk di sofa
sambil makan kwaci. Di Mesir makan kwaci adalah salah satu
budaya yang sangat merakyat.
"Sudah baik. Sudah dibawa pulang. Dia masih perlu
istirahat beberapa hari," jawab Cut Mala.
"Jadi tentang yang aku sampaikan di Hadiqah itu belum
kamu sampaikan kepadanya?"
"Sudah saya sampaikan lewat telpon. Sebelum Kak Fadhil
sakit. Kak Fadhil minta agar aku menjelaskannya panjang
lebar secara langsung, tidak lewat telpon. Kami sudah janjian
mau bertemu di Masjid Nuri Khithab. Namun manusia hanya
bisa berencana sedangkan yang menentukan adalah Tuhan.
Belum sempat bertemu Kak Fadhil sudah sakit duluan. Jadinya
saya belum menjelaskan dengan detil. Dan otomatis Kak
Fadhil belum memberikan saran atau masukan."
"Kau tahu kira-kira kenapa kakakmu minta penjelasan
panjang lebar?" Tiara penasaran. Ada secercah cahaya harapan
di hatinya. Ia berharap bahwa Fadhil memang menaruh
perhatian padanya, bahkan menaruh hati padanya.
"Saya tidak tahu persis, Kak. Tapi memang kakak saya
sering begitu. Seringkali jika saya minta saran, minta ketemu
langsung untuk menjelaskan dengan detil panjang lebar."
"Kalau kau menemuinya hari ini dan menjelaskan panjang
lebar tentang yang aku hadapi bisa tidak Dik? Nanti malam
ayahku mau menelpon lagi. Kemarin beliau menelpon dan aku
janjikan nanti malam. Sampai sekarang aku belum punya
pegangan untuk mengambil sikap. Tolonglah Dik."
"Tapi kakak masih belum sehat benar Kak. Apa tidak bisa
menunggu dua atau tiga hari lagi?"
Tiara menghela nafas. Ia memejamkan kedua mata.
Haruskah ia menjelaskan lebih dalam tentang perasaannya
yang selama ini ia simpan di dalam dada kepada Cut Mala?
Tak terasa matanya basah. Airmatanya tanpa bisa ia bendung
keluar perlahan membasahi pipi. Cut Mala menangkap dengan
jelas yang terjadi pada kakak kelasnya itu.
"Kak Tiara menangis? Maafkan saya Kak, jika katakata
saya tidak berkenan." Lirih Cut Mala.
"Tidak apa-apa Dik. Kakak hanya merasa berat meresapi
masalah ini. Kakak ingin segera jelas. Kakak ingin segera konsentrasi
ujian. Hari-hari ini kakak sulit tidur. Tapi kau memang
benar. Dua hari lagi tidak lama. Atau kakak akan ambil
keputusan tanpa perlu saran dan penjelasan dari kakakmu.
Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa kakak menangis."
Jawab Tiara sambil tetap memejamkan mata.
Cut Mala diam . Dari kalimat yang disamp aikan Tiara, ia
bisa menangkap bahwa kakak kelasnya itu memendam sesuatu.
Ia hanya bisa meraba bahwa Tiara susah untuk mengambil
keputusan karena kelihatannya Tiara mengharapkan kakaknya,
Fadhil. Namun Cut Mala tidak mau terlalu jauh menduga
dan berprasangka. Bukankah sebagian pra-sangka adalah
dosa? Untuk menenangkan hati Tiara, ia berkata,
"Sore nanti saya akan menjenguk Kak Fadhil di rumahnya.
Saya akan melihat keadaannya, jika mau mungkinkan
saya akan jelaskan semuanya padanya."
Mendengar kalimat itu Tiara langsung membuka mata.
Ada binar bahagia di wajahnya.
"Benarkah Dik? Tolong ya Dik, jelaskan pada kakakmu,
usahakan!" tukas Tiara penuh harap.
"Insya Allah Kak. Sekali lagi jika keadaan memungkinkan."
"Semoga memungkinkan."
Melihat reaksi Tiara, Cut Mala memiliki sedikit petunjuk
bahwa kakak kelasnya itu menaruh hati pada kakak kandungnya.
Ia akan berusaha menjelaskan masalah kakak kelasnya itu
pada kakak kandungnya. Namun ia tidak akan menceritakan
segala petunjuk yang ia dapat bahwa Tiara diam-diam
menaruh hati pada kakaknya. Ia ingin semuanya berjalan
alamiah. Ia akan menceritakan apa adanya persis seperti yang
diceritakan Tiara padanya di Hadiqah Dauliyah.
***
Dari Pasar Sayyeda Zaenab Azzam naik bus 65. Ia memilih
duduk di bangku paling belakang. Karena barang bawaannya
agak banyak. Begitu bus merangkak berjalan, Azzam
mulai memejamkan mata. Rasa kantuknya tak bisa ia tahan.
Sepanjang perjalanan ia tidur. Pulas. Bahkan ketika bus yang
ditumpanginya telah memasuki kawasan Nasr City ia tak juga
bangun.
Bis 65 itu melintas di depan Masjid Ar Rahmah. Di sebuah
halte tak jauh dari situ bus berhenti menurunkan dan menaikkan
penumpang. Seorang penumpang turun, dan seorang
gadis berjilbab putih naik. Gadis itu membayar ongkos. Lima
puluh piaster. Gadis itu mencaricari tempat duduk. Semua
telah terisi. Kecuali satu kursi di bagian belakang. Tepat di
samping Azzam yang sedang pulas tidur. Gadis itu ragu untuk
duduk. Sang kondektur mempersilakan untuk duduk. Akhirnya
gadis itu duduk.
Azzam yang sedang tidur sama sekali tidak sadar, ada
seorang gadis yang duduk di sampingnya. Ia sangat pulas.
Wajah lelahnya tergurat jelas. Gadis itu memperhatikan wajah
Azzam.
"Benar kata kakak, dia seorang pekerja keras. Wajahnya
ada-lah wajah lelah pekerja keras," kata gadis itu dalam hati.
Gadis itu tak lain adalah Cut Mala, yang hendak menjenguk
Fadhil kakaknya.
Sampai di ENPI, kondektur bus berteriak keras,
"Enpi! Enpi Enpi!"
Azzam terbangun. Ia mengucek-ucek kedua matanya.
Cepat-cepat ia melihat ke jendela. Ia ingin tahu sampai di
mana dirinya sebenarnya. Begitu melihat gedung Enpi ia lega.
Ia tidak kebablasan. Ia berusaha keras menahan kantuknya. Ia
tidak mau ketiduran dan kebablasan sampai akhir terminal. Ia
harus turun di halte Mutsallats. Ia menggerak-gerakkan kepalanya
yang pegal. Ia melihat ke depan dan ke sampingnya. Ia
baru sadar ada seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Ia
terperanjat.
"Mala ya?" lirihnya.
Gadis itu memandang ke arahnya dengan tersenyum.
Kedua tangannya menelungkup di dada. Isyarat mengulurkan
salam.
"Iya Kang Azzam. Dari belanja ya Kang?"
"Iya seperti biasa. Belanja kacang kedelai di Sayyeda Zaenab.
Mala mau ke mana? Ke Mutsallats ya?"
"Iya Kang. Mau nengok Kak Fadhil."
"Oh iya. Insya Allah kondisi Fadhil sudah baik kok.
Jangan cemas."
"Ya semoga segara pulih seperti sedia kala. Sebentar lagi
kan mau ujian. Saya kuatir kalau mengganggu ujiannya."
"Jangan kuatir. Kakakmu itu termasuk orang cerdas yang
bisa meresapi soal ujian dengan baik. Dia selalu naik tingkat
dengan predikat jayyid tiap tahun. Semoga sakitnya kali ini
menjadi penebus dosanya sehingga ia bisa lulus ujian akhir
dengan nilai terbaik."
"Amin."
Keduanya lalu diam. Azzam tidak menemukan tema
untuk dibicarakan. Demikian juga Cut Mala. Di samping itu
rasa segan menghalangi mereka berdua untuk terus berbicara.
Cut Mala sangat segan pada Azzam yang sangat dihormati
oleh kakaknya. Cut Mala juga tahu jika selama ini kakaknya
sering mendapat banyak bantuan dari orang yang duduk di
sam-pingnya. Azzam segan pada Cut Mala, karena prestasi
dan pesonanya. Ia sudah sering mendengar prestasi-prestasinya.
Tahun pertama di Al Azhar gadis itu langsung lulus naik
tingkat dua dengan predikat jayyid jiddan. Dan mendapat
penghargaan dari Bapak Atase Pendidikan. Suaranya yang
halus sedikit menggetarkan syaraf-syarafnya.
Ia jadi teringat Hafez. Ia bisa membayangkan jika Hafez
yang duduk di tempatnya saat itu, seperti apa rasa gembiranya.
Segera ia mencegah hatinya untuk merasakan simpati
berlebihan pada gadis Aceh itu. Ia teringat tiga adik perem -
puannya di Indonesia. Husna, Lia dan Sarah. Ia harus menghormati
Cut Mala. Ia ingin orang lain menghormati tiga adiknya.
Bus terus melaju. Sampai di Mutsallats. Bus berhenti. Cut
Mala turun. Azzam menurunkan barang-barangnya. Cut Mala
menunggu Azzam. Azzam meminta kepada Cut Mala agar
duluan. Cut Mala langsung melangkah meninggalkan Azzam.
Azzam istirahat sesaat. Ia melihat ke arah penjual buah. Ia
ingin beli jeruk Abu Surrah. Ia memanggul kacang kedelainya.
Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi bumbu. Ia
berhenti di tukang buah dan membeli jeruk satu kilo. Lalu ia
berjalan pelan-pelan ke arah rumahnya. Cut Mala sudah tidak
kelihatan. Mungkin ia telah masuk flat-dan bertemu dengan
kakaknya.
Di pintu gerbang, Nanang telah menunggunya.
"Kedelainya biar saya angkat Kang." Nanang menawarkan
diri. Azzam yang sangat lelah menurunkan karungnya
yang berisi kedelai. Nanang langsung memanggulnya. Mereka
berdua menaiki tangga.
"Ada siapa saja di rumah Nang?" tanya Azzam.
"Semua ada Kang," jawab Nanang sambil tetap menaiki
tangga satu per satu.
"Hafez juga ada?"
"Ya ada. Dia pulang jam satu siang tadi. Dia sempat
marah-marah karena tidak diberitahu kalau Fadhi masuk rumah
sakit."
"Si Mala, adiknya Fadhil sudah masuk?"
"Sudah Kang. Dia yang tadi memberitahu kalau Sampeyan
sedang berjalan. Katanya tadi satu bus Kang."
"Iya."
Azzam membayangkan bahwa telah terjadi pertemuan
antara Hafez dan Cut Mala. Ia bisa membayangkan seperti apa
kira-kira perasaan Hafez. Ia pasti sedang panas dingin. Hanya
ia yang tahu. Tentang Cut Mala, ia yakin gadis itu biasa-biasa
saja. Sebab kepentingan gadis itu sangat jelas, yaitu menjenguk
kakaknya.
Saat Azzam masuk flat, yang ada di ruang tamu hanya
Fadhil dan Cut Mala. Keduanya sedang berbincang-bincang.
Ia mendengar suara minuman diaduk. Ia masuk dapur. Hafez
sedang membuat teh.
"Jangan sampai kurang manis. Dan jangan sampai terlalu
manis lho Fez," ujar Azzam sambil meletakkan barang yang
dibawanya. Nanang meletakkan karung di tempat biasanya,
pojok dapur.
"E e iya Kang," jawab Hafez gugup. Wajahnya memerah.
"Jangan lupa itu ada buah. Setelah mengantar minuman.
Antar juga buahnya ya. Setelah itu kembali ke kamar. Jangan
menganggu kenyamanan pembicaraan kakak beradik itu ya."
Kata Azzam santai sambil berlalu merunggalkan Hafez yang
bersiap dengan dua gelas di atas nampan. Azzam masuk ke
kamarnya. Nanang melakukan hal yang sama. Sementara Hafez
membawa nampan ke ruang tamu dengan tangan bergetar.
"Wah jadi merepotkan Kak Hafez," kata Cut Mala kala
melihat Hafez datang membawa minuman.
"Ah tidak kok, sudah ada," jawab Hafez dengan nada
sebiasa mungkin. Ia tidak ingin tubuhnya yang gemetar dan
panas dingin diketahui oleh Fadhil maupun Cut Mala
"Mari silakan diminum," Hafez mempersilakan.
"Terima kasih Kak," sahut Cut Mala sambil menatap
wajah Hafez. Pada saat yang sama Hafez juga sedang memandang
ke arah Cut Mala. Cut Mala tersenyum lalu memandang
kakak-nya.
"Kak Fadhil, Kak Hafez kan orang Palembang ya. Berarti
dia bisa bikin empek-empek ya?"
Fadhil menjawab dengan tersenyum, "Ya iyalah. Dia
jagonya kalau bikin empek -empek. Kalau mau dia bisa bisnis
empek-empek di Cairo ini, tapi dia tidak mau. Katanya takut
ku-liahnya terganggu."
Hafez yang mendengar dirinya dipuji Fadhil di hadapan
Cut Mala merasa sangat berbahagia. Kedua kakinya seperti
tidak menginjak bumi. Ia seperti melayang. Ia segera menguasai
diri.
"Sebentar ya," kata nya sambil melangkah ke dapur. Ia
mengambil buah yang masih ada di dalam kantong plastik,
meletakkannya di atas piring dan membawa ke ruang tamu.
"Iya keluarkan semuanya Fez. Nanti kalau tidak habis
biar dibawa pulang Mala," ujar Fadhil santai.
"Iya nggak apa-apa. Siapkan sekalian kantong plastiknya
biar nanti saya bawa pulang," tukas Cut Mala santai.
Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala. Ia
seperti tersengat listrik. Ada perasaan sangat indah yang sangat
susah dilukiskan. Kakinya seperti mau lumpuh. Keringat
dinginnya keluar. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia membalikkan
badan.
"Mau ke mana Fez? Masih ada lagi?" celetuk Fadhil.
Hafez sudah menguasai keadaan, ia langsung membalikkan
badan dan menjawab dengan guyonan,
"Masih. Di dapur masih ada banyak buah. Mala mau
bawa?"
"Boleh. Masih ada apa aja?"
Spontan Hafez menjawab,
"Kubis, lombok, kentang, terong, wortel dan buncis.
Mau?"
"Ah Kak Hafez punya rasa humor juga ya. Kalau itu sih di
kulkas kami sudah penuh. Berlebih malah. Terima kasih deh,"
tukas Cut Mala santai.
Hafez tersenyum. Ia punya kesempatan memandang Cut
Mala lagi. Hatinya benar-benar bergetar. Tubuhnya panas
dingin.
"Sama-sama," jawabnya seraya melangkah, langsung menuju
kamar Azzam. Itu adalah pertemuan yang sangat mengesan
dan menggetarkan jiwanya.
BERSAMBUNG
*** Tag dan share ke keluarga, sahabat dan teman-temanmu yah
***
Sahabat, Musibah, bencana, dapat senantiasa menyambangi dimanapun kita berada. Termasuk, saat ini lewat berbagai media kita bisa menyaksikan bencana melanda berbagai tempat dimana saudara-saudara kita tinggal. Maka mari kita buktikan kepedulian kita dengan mengulurkan tangan untuk menolong para korban-korban bencana di sana. Karena sedikit bantuan kita, besar artinya buat mereka.
Salurkan donasi sahabat melalui BSM 703 310 1858 a.n Lembaga Forum Lingkar Pena. Konfirmasi ke Wiwiek (08128747415)
Demikian informasi yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan ribuan terima kasih.
No comments:
Post a Comment