Empat Tingkatan Manusia Dalam Menghadapi musibah
Cobaan atau ujian merupakan sebuah kepastian. Ujian itu ada yang menyenangkan dan ada pula yang menyusahkan. Dengan ujian ini akan bisa mengangkat derajat seorang hamba, dan bisa menggugurka n dosa-dosanya.
Namun, dalam menghadapi sebuah ujian yang tidak menyenangkan itu bermacam-macam. Ada yang sabar dan tidak sabar. Menurut Syaikh Utsaimin, Kondisi manusia dalam menghadapi musibah ada empat tingkatan. (Fatawa syaikh Utsaimin).
Syaikh Utsaimin mengatakan tingkat pertama, menggerutu terhadapnya. Tingkatan ini ada beberapa macam: pertama, direfleksikan dengan hati, seperti seseorang yang menggerutu terhadap Rabnya dan geram terhadap takdir yang dialaminya. Perbuatan ini hukumnya haram dan bisa menyebabkan kekufuran. Allah Swt berfirman : “Dan diantara manusia, ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi, maka jika memperoleh kebajikan, tataplah ia dalam keadaan itu, dan jika ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al Hajj : 11).
Kedua, direfleksikan dengan lisan, seperti berdoa dengan umpatan ‘celaka’, ‘hancurlah’ dan sebagainya. Perbuatan ini haram hukumnya. Ketiga, direfleksikan dengan anggota badan seperti menampar pipi, menyobek kantong baju, menjambak rambut dan sebagainya. Semua ini adalah haram hukumnya karena menafikan kewajiban bersabar.
Tingkatan kedua, bersabar atasnya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang penyair;
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسْلِ
“Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu”
Orang yang dalam kondisi ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi ia kuat menanggungnya, dia tidak suka hal itu terjadi akan tetapi iman yang bersemayam di hatinya menjaganya dari menggerutu. Terjadi dan tidaknya hal itu tidak sama baginya. Perbuatan seperti itu wajib hukumnya karena Allah Swt. memerintahkan untuk bersabar sebagaimana firmannya :
وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
“Dan bersabarlah. Sesunggunya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfal : 46).
Tingkatan ketiga, ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya di mana baginya sama saja ada dan tidak adanya musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan menanggungnya dengan perasaan berat. Sikap seperti ini dianjurkan tetapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang kuat.
Perbedaan antara tingkatan ini, dengan tingkatan sebelumnya amat jelas, sebab dalam tingkatan ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan sebelumnya, adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya.
Tingkatan keempat, bersyukur atasnya. Tingkatan ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah atas musibah apa saja yang dialami. Dalam hal ini dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab (sarana) untuk menghapus semua kejelekan-kejelekan (dosa-dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah Saw bersabda :
مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa-dosa kecil) darinya sampai-sampai sebatang duri pun yang menusuknya.” (HR. Bukhari).
Cobaan atau ujian merupakan sebuah kepastian. Ujian itu ada yang menyenangkan dan ada pula yang menyusahkan. Dengan ujian ini akan bisa mengangkat derajat seorang hamba, dan bisa menggugurka n dosa-dosanya.
Namun, dalam menghadapi sebuah ujian yang tidak menyenangkan itu bermacam-macam. Ada yang sabar dan tidak sabar. Menurut Syaikh Utsaimin, Kondisi manusia dalam menghadapi musibah ada empat tingkatan. (Fatawa syaikh Utsaimin).
Syaikh Utsaimin mengatakan tingkat pertama, menggerutu terhadapnya. Tingkatan ini ada beberapa macam: pertama, direfleksikan dengan hati, seperti seseorang yang menggerutu terhadap Rabnya dan geram terhadap takdir yang dialaminya. Perbuatan ini hukumnya haram dan bisa menyebabkan kekufuran. Allah Swt berfirman : “Dan diantara manusia, ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi, maka jika memperoleh kebajikan, tataplah ia dalam keadaan itu, dan jika ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al Hajj : 11).
Kedua, direfleksikan dengan lisan, seperti berdoa dengan umpatan ‘celaka’, ‘hancurlah’ dan sebagainya. Perbuatan ini haram hukumnya. Ketiga, direfleksikan dengan anggota badan seperti menampar pipi, menyobek kantong baju, menjambak rambut dan sebagainya. Semua ini adalah haram hukumnya karena menafikan kewajiban bersabar.
Tingkatan kedua, bersabar atasnya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang penyair;
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسْلِ
“Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu”
Orang yang dalam kondisi ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi ia kuat menanggungnya, dia tidak suka hal itu terjadi akan tetapi iman yang bersemayam di hatinya menjaganya dari menggerutu. Terjadi dan tidaknya hal itu tidak sama baginya. Perbuatan seperti itu wajib hukumnya karena Allah Swt. memerintahkan untuk bersabar sebagaimana firmannya :
وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
“Dan bersabarlah. Sesunggunya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfal : 46).
Tingkatan ketiga, ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya di mana baginya sama saja ada dan tidak adanya musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan menanggungnya dengan perasaan berat. Sikap seperti ini dianjurkan tetapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang kuat.
Perbedaan antara tingkatan ini, dengan tingkatan sebelumnya amat jelas, sebab dalam tingkatan ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan sebelumnya, adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya.
Tingkatan keempat, bersyukur atasnya. Tingkatan ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah atas musibah apa saja yang dialami. Dalam hal ini dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab (sarana) untuk menghapus semua kejelekan-kejelekan (dosa-dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah Saw bersabda :
مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa-dosa kecil) darinya sampai-sampai sebatang duri pun yang menusuknya.” (HR. Bukhari).
No comments:
Post a Comment